Usia 90 Tahun, Tamansiswa Sulit Berkembang
Maraknya tindakan korupsi dan berbagai kasus yang terjadi negeri ini
merupakan salah satu bentuk
kegagalan produk pendidikan. Karut-marut
dunia pendidikan di Indonesia semakin menenggelamkan bangsa ini ke dalam
jurang kemiskinan dan keterpurukan. Tamansiswa sebagai tonggak
Pendidikan Indonesia dengan sejarahnya yang panjang, 3 Juli 2012
memasuki usia 90 tahun. Diusianya yang tak lagi muda ini, bagaimanakah
peran Tamansiswa melalui ajaran-ajarannya bagi bangsa Indonesia?
Edi Subkhan, dalam blognya, menuliskan berbagai masalah pendidikan
yang muncul sekarang ini layak bagi kita untuk mengambil inspirasi dan
proyeksi solusinya dari salah satu warisan pendidikan nasional kita,
yaitu Tamansiswa. Tonggak sejarah pendidikan nasional Indonesia memang
tidak dapat dilepaskan dari Tamansiswa. Oleh karena itu, kemungkinan
terbesar dari munculnya peluang untuk dapat mengatasi masalah pendidikan
di Indonesia kontemporer sekarang dapat lahir dari pembacaan dan
penafsiran ulang atas Tamansiswa di masa lalu dan sekarang.
Namun, di usia Tamansiswa yang 90 tahun ini, berita memprihatinkan muncul dari dunia pendidikan di Yogyakarta. Seperti dilansir
Harian Jogja (14/5), Yayasan Tamansiswa yang selama ini
concern dengan dunia pendidikan di Indonesia terancam bangkrut.
Selanjutnya Edi menuliskan, Tamansiswa tidak bisa dilepaskan dari
sosok Ki Hajar Dewantara (KHD) yang menjadi tokoh sentral kebangkitan
dunia pendidikan di Indonesia sejak zaman Belanda. Saat itu bangsa
pribumi masih belum bisa merasakan dunia pendidikan, tetapi KHD-lah yang
mendobrak hal itu.
Dengan hadirnya Tamansiswa, KHD membangun karakter bangsa lewat dunia
pendidikan. Di Tamansiswa nilai-nilai kerakyatan, budi pekerti,
kebudayaan, dan kebangsaan ditanamkan pada siswa-siswanya. Tamansiswa
yang nafasnya untuk pemerataan pendidikan tetap menampung siswa dari
berbagai kalangan baik miskin maupun kaya. Namun mayoritasnya, para
siswa yang belajar di perguruan ini merupakan masyarakat kalangan
menengah ke bawah.
“Kondisi seperti itu membuat Tamansiswa tidak dapat menarik biaya
tinggi layaknya sekolah swasta saat ini. Semangat KHD saat itu adalah
pemerataan pendidikan, bukan peninggian pendidikan. Dengan mengutamakan
sistem sekolah kerakyatan, kalangan ekonomi ke bawah pun dapat
bersekolah di tempat itu. Inilah yang membuat saat ini banyak sekolah
Tamansiswa yang tutup. Sementara yang masih berdiri pun kondisinya juga
mengenaskan dengan jumlah siswa yang minim,” tulis Edi.
Edi melanjutkan, sebetulnya kehadiran Tamansiswa bisa menjadi angin
segar bagi dunia pendidikan di Indonesia. Di tengah gempuran
sekolah-sekolah mahal, Tamansiswa tetap pada komitmennya dengan sekolah
berbiaya rendah dan tidak mengurangi kualitasnya.
Persoalan tentang sekolah swasta yang tutup sebetulnya tidak hanya
Tamansiswa saja. Banyak sekolah-sekolah swasta yang terancam bangkrut,
bahkan sebagian besar sudah tutup. Ironisnya sekolah-sekolah yang tutup
ini adalah sekolah kerakyatan dengan biaya pendidikan yang murah. Mereka
malah kalah bersaing dengan sekolah-sekolah mahal.
“Kini kita tinggal menunggu kebijakan dari pemerintah untuk bisa
menjaga agar Tamansiswa maupun sekolah-sekolah swasta lain tetap bisa
bertahan. Sekolah-sekolah ini menunggu uluran tangan dari pemerintah
agar bisa ikut membangun bangsa lewat pendidikan,” tulisnya.
Priyo Mustiko selaku Ketua II Pengurus Pusat Persatuan Keluarga Besar
Tamansiswa (PKBTS) menanggapi perihal Tamansiswa yang akan berusia 90
tahun. “Seharusnya Tamansiswa itu semakin indah. Semakin indah di sini
berarti semakin indah perjuangannya, indah manfaatnya untuk bangsa,”
ungkap Priyo.
Strategi perjuangan Tamasiswa pun perlu diubah. Strategi yang dipakai
saat ini menurut Priyo masih tradisional, yang berbasis pada
persekolahan. “Tamansiswa adalah badan perjuangan kebudayaan, jadi
perjuangan Tamansiswa juga harus lewat budaya, kemasyarakatan dan para
alumni harus diberdayakan. Jumlah alumni Tamansiswa sejak zaman dulu
hingga sekarang itu sangat banyak. Jika diberdayakan akan menjadi
kekuatan baru untuk Tamansiswa,” jelas Priyo.
Di Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa (UST) sebagai salah satu
perguruan tinggi Tamansiswa, implementasi ketamansiswaannya juga terasa
kurang. Seperti dilansir buletin
Pensil Edisi I, April 2012
lalu, rasa ketamansiswaan di UST seolah kian menjauh dari ruang lingkup
mahasiswa hingga ke tingkat pamong/dosen. Hal itu ditegaskan kembali
oleh Trisharsiwi
via SMS bahwa rasa ketamansiswaan semakin menurun di UST sehingga perlu adanya penyegaran kembali tentang ajaran-ajaran Tamansiswa.
Gunawan, Dosen Pendidikan Bahasa Inggris pun turut memberi komentar
tentang 90 tahun Tamansiswa. “Pada awalnya Tamansiswa luar biasa dan
sangat berjasa buat bangsa ini, tetapi realitasnya kini Tamansiswa
semakin merosot. Jika dilihat dari sisi kualitas pendidikannya sekarang
sudah menyeleweng dari ajaran-ajaran KHD,” ujar Gunawan.
Menurutnya, banyak hal yang menyebabkan Tamansiswa kini semakin
merosot. Selain itu, perlu adanya revitalisasi tentang kesadaran konsep
Tamansiswa agar tidak terjadi kecelakaan peradaban pendidikan.
“Sayangnya banyak orang yang berbicara Tamansiswa tetapi bukan orang
Tamansiswa sendiri. Orang Tamansiswa sibuk dengan kehidupannya yang
kembang-kempis sehingga tidak dapat memperjuangkan jiwa dan ajaran
Tamansiswa. Sekarang ini Tamansiswa masih ada tetapi hanya simbol atau
logo-logonya saja,” tegasnya.
Hal tersebut juga pernah diungkapkan dalam film dokumenter Ki Hadjar
Dewantara karya Perusahaan Film Negara (PFN) yang menyebutkan bahwa
orang yang berani menyeburkan diri dalam Tamansiswa harus berani
berkorban dan tidak takut melarat. Dalam era globalisasi seperti
sekarang, hal ini semakin mempersulit Tamansiswa.
“Di era seperti ini Tamansiswa jangan hanyut dengan realitas yang
ada, justru sebaliknya Tamansiswa harus bangkit. Di UST sendiri perlu
pembuatan rencana strategis untuk beberapa tahun ke depan. Seperti
ajaran Ki Hadjar,
ngeli nanging ojo keli (hanyut tapi jangan
sampai hanyut). Kita harus mengalir mengikuti zaman, tetapi
prinsip-prinsip Tamansiswa harus tetap dipegang sebagai pedoman,” jelas
Gunawan.
Kembali menilik ketamansiswaan di Kampus Kebangsaan UST. Priyo
menegaskan kembali bahwa Tamansiswa adalah badan perjuangan kebudayaan.
Di Kampus Kebangsaan perlu adanya kajian budaya serta dibentuk lembaga
studi kebudayaan UST. “Konsep budaya ditanamkan sebagai prioritas,”
tegasnya.
Perlunya sebuah pusat kajian juga dilontarkan oleh Syahnagra, salah
satu alumni Tamansiswa dalam Konggres PKBTs akhir tahun lalu. “Sudah
waktunya Tamansiswa membangun pusat kajian KHD sebagai sumber untuk
membangun masyarakat kedepan. Seperti visi Tamansiswa yaitu terwujudnya
badan perjuangan kebudayaan dan pembangunan masyarakat yang menggunakan
pendidikan dalam arti luas sebagai sarana dalam upaya membangun
masyarakat tertib, damai, salam dan bahagia, serta tangguh dan berjaya,”
paparnya.
Lebih jauh, Priyo menjelaskan bahwa ajaran Tamansiswa mengandung
paham multikulturalisme, memelihara dan mengembangkan budaya. Budaya
ketamansiswaan menunjukkan pada perilaku lengkap dengan budi pekerti.
“Ketamansiswaan bukan sekadar mata kuliah, namun juga ruang pembelajaran
bagi mahasiswa untuk mengkaji ajaran Tamansiswa,” jelas Priyo.
Selain itu, pendidikan pun erat kaitanya dengan kebudayaan. Seperti
yang disampaikan oleh H.A.R Tilaar dalam Seminar Nasional Peringatan
Hardiknas oleh Tamansiswa, 1 Mei 2012 lalu. Menurutnya, pakar-pakar
pendidikan seperti KHD, Moh. Syafei, Paulo Freire, Giroux, dan banyak
pakar pendidikan dalam kelompok pedagogik kritis melihat proses
pendidikan tidak terlepas dari konteks kebudayaan seseorang. Di UST
harus ada perombakan terhadap cara penyampaian ajaran Tamansiswa.
Priyo juga berharap di UST secara kontinyu
menyelenggarakan
studium general atau kuliah umum yang dihadiri oleh tokoh-tokoh Tamansiswa untuk membahas pendidikan dan kebudayaan di Tamansiswa.