[Taman Dewasa]: 2012

Tulisan berjalan

Kamis, 04 Oktober 2012

Peringatan HUT Tamansiswa ke-90 di Tamansiswa Jakarta 

 

 
Peringatan HUT Tamansiswa ke-90 di Perguruan Tamansiswa Cabang Jakarta yang telah terselenggara pada 3 Juli 2012 yang lalu mengagendakan Pemberian Penghargaan kepada Pamong Anggota Keluarga yang telah berjuang dalam pengabdiannya di Tamansiswa Jakarta selama 10 tahun, 20 tahun dan 30 tahun oleh Ketua Majelis Cabang Tamansiswa Jakarta, Nyi Kuspratiwi dan penyampaian Perspektif Tamansiswa oleh Hilmar Farid yang dipandu oleh Ki Darmaningtyas.  Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan di era Orde Baru, Prof. Dr. Daud Yusuf juga menyampaikan presentasinya di acara tersebut.  Perwakilan dari Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa, Ki Suparwanto memberikan sambutan selamat hari ulang tahun Tamansiswa ke-90.
Peringatan tersebut dihadiri oleh lebih dari 200 orang yang diantaranya adalah tamu dari Dinas Pendidikan, Pengda Wanita Tamansiswa, dan pamong-pamong di lingkungan Tamansiswa Jakarta. Adapun tujuan yang disampaikan pada peringatan tersebut adalah:
  • Mengingatkan kembali kelahiran Tamansiswa di tengah-tengah perjuangan kemerdekaan RI
  • Mengembalikan citra Tamansiswa di masa kini dan mendatang
  • Memberikan penghargaan kepada pejuang-pejuang Tamansiswa Jakarta yang telah mengabdi di Perguruan Tamansiswa Jakarta. 

Semoga apa yang menjadi tujuan dari peringatan ini,  Tamansiswa akan tetap berjaya di tengah-tengah masyarakat. Amiinn. 


Usia 90 Tahun, Tamansiswa Sulit Berkembang

Maraknya tindakan korupsi dan berbagai kasus yang terjadi negeri ini merupakan salah satu bentuk
kegagalan produk pendidikan. Karut-marut dunia pendidikan di Indonesia semakin menenggelamkan bangsa ini ke dalam jurang kemiskinan dan keterpurukan. Tamansiswa sebagai tonggak Pendidikan Indonesia dengan sejarahnya yang panjang, 3 Juli 2012 memasuki usia 90 tahun. Diusianya yang tak lagi muda ini, bagaimanakah peran Tamansiswa melalui ajaran-ajarannya bagi bangsa Indonesia?
Edi Subkhan, dalam blognya, menuliskan berbagai masalah pendidikan yang muncul sekarang ini layak bagi kita untuk mengambil inspirasi dan proyeksi solusinya dari salah satu warisan pendidikan nasional kita, yaitu Tamansiswa. Tonggak sejarah pendidikan nasional Indonesia memang tidak dapat dilepaskan dari Tamansiswa. Oleh karena itu, kemungkinan terbesar dari munculnya peluang untuk dapat mengatasi masalah pendidikan di Indonesia kontemporer sekarang dapat lahir dari pembacaan dan penafsiran ulang atas Tamansiswa di masa lalu dan sekarang.
Namun, di usia Tamansiswa yang 90 tahun ini, berita memprihatinkan muncul dari dunia pendidikan di Yogyakarta. Seperti dilansir Harian Jogja (14/5), Yayasan Tamansiswa yang selama ini concern dengan dunia pendidikan di Indonesia terancam bangkrut.
Selanjutnya Edi menuliskan, Tamansiswa tidak bisa dilepaskan dari sosok Ki Hajar Dewantara (KHD) yang menjadi tokoh sentral kebangkitan dunia pendidikan di Indonesia sejak zaman Belanda. Saat itu bangsa pribumi masih belum bisa merasakan dunia pendidikan, tetapi KHD-lah yang mendobrak hal itu.
Dengan hadirnya Tamansiswa, KHD membangun karakter bangsa lewat dunia pendidikan. Di Tamansiswa nilai-nilai kerakyatan, budi pekerti, kebudayaan, dan kebangsaan ditanamkan pada siswa-siswanya. Tamansiswa yang nafasnya untuk pemerataan pendidikan tetap menampung siswa dari berbagai kalangan baik miskin maupun kaya. Namun mayoritasnya, para siswa yang belajar di perguruan ini merupakan masyarakat kalangan menengah ke bawah.
“Kondisi seperti itu membuat Tamansiswa tidak dapat menarik biaya tinggi layaknya sekolah swasta saat ini. Semangat KHD saat itu adalah pemerataan pendidikan, bukan peninggian pendidikan. Dengan mengutamakan sistem sekolah kerakyatan, kalangan ekonomi ke bawah pun dapat bersekolah di tempat itu. Inilah yang membuat saat ini banyak sekolah Tamansiswa yang tutup. Sementara yang masih berdiri pun kondisinya juga mengenaskan dengan jumlah siswa yang minim,” tulis Edi.
Edi melanjutkan, sebetulnya kehadiran Tamansiswa bisa menjadi angin segar bagi dunia pendidikan di Indonesia. Di tengah gempuran sekolah-sekolah mahal, Tamansiswa tetap pada komitmennya dengan sekolah berbiaya rendah dan tidak mengurangi kualitasnya.
Persoalan tentang sekolah swasta yang tutup sebetulnya tidak hanya Tamansiswa saja. Banyak sekolah-sekolah swasta yang terancam bangkrut, bahkan sebagian besar sudah tutup. Ironisnya sekolah-sekolah yang tutup ini adalah sekolah kerakyatan dengan biaya pendidikan yang murah. Mereka malah kalah bersaing dengan sekolah-sekolah mahal.
“Kini kita tinggal menunggu kebijakan dari pemerintah untuk bisa menjaga agar Tamansiswa maupun sekolah-sekolah swasta lain tetap bisa bertahan. Sekolah-sekolah ini menunggu uluran tangan dari pemerintah agar bisa ikut membangun bangsa lewat pendidikan,” tulisnya.
Priyo Mustiko selaku Ketua II Pengurus Pusat Persatuan Keluarga Besar Tamansiswa (PKBTS) menanggapi perihal Tamansiswa yang akan berusia 90 tahun. “Seharusnya Tamansiswa itu semakin indah. Semakin indah di sini berarti semakin indah perjuangannya, indah manfaatnya untuk bangsa,”  ungkap Priyo.
Strategi perjuangan Tamasiswa pun perlu diubah. Strategi yang dipakai saat ini menurut Priyo masih tradisional, yang berbasis pada persekolahan. “Tamansiswa adalah badan perjuangan kebudayaan, jadi perjuangan Tamansiswa juga harus lewat budaya, kemasyarakatan dan para alumni harus diberdayakan. Jumlah alumni Tamansiswa sejak zaman dulu hingga sekarang itu sangat banyak. Jika diberdayakan akan menjadi kekuatan baru untuk Tamansiswa,” jelas Priyo.
Di Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa (UST) sebagai salah satu perguruan tinggi Tamansiswa, implementasi ketamansiswaannya juga terasa kurang. Seperti dilansir buletin Pensil Edisi I, April 2012 lalu, rasa ketamansiswaan di UST seolah kian menjauh dari ruang lingkup mahasiswa hingga ke tingkat pamong/dosen. Hal itu ditegaskan kembali oleh Trisharsiwi via SMS bahwa rasa ketamansiswaan semakin menurun di UST sehingga perlu adanya penyegaran kembali tentang ajaran-ajaran Tamansiswa.
Gunawan, Dosen Pendidikan Bahasa Inggris pun turut memberi komentar tentang 90 tahun Tamansiswa. “Pada awalnya Tamansiswa luar biasa dan sangat berjasa buat bangsa ini, tetapi realitasnya kini Tamansiswa semakin merosot. Jika dilihat dari sisi kualitas pendidikannya sekarang sudah menyeleweng dari ajaran-ajaran KHD,” ujar Gunawan.
Menurutnya, banyak hal yang menyebabkan Tamansiswa kini semakin merosot. Selain itu, perlu adanya revitalisasi tentang kesadaran konsep Tamansiswa agar tidak terjadi kecelakaan peradaban pendidikan. “Sayangnya banyak orang yang berbicara Tamansiswa tetapi bukan orang Tamansiswa sendiri. Orang Tamansiswa sibuk dengan kehidupannya yang kembang-kempis sehingga tidak dapat memperjuangkan jiwa dan ajaran Tamansiswa. Sekarang ini Tamansiswa masih ada tetapi hanya simbol atau logo-logonya saja,” tegasnya.
Hal tersebut juga pernah diungkapkan dalam film dokumenter Ki Hadjar Dewantara karya Perusahaan Film Negara (PFN) yang menyebutkan bahwa orang yang berani menyeburkan diri dalam Tamansiswa harus berani berkorban dan tidak takut melarat. Dalam era globalisasi seperti sekarang, hal ini semakin mempersulit Tamansiswa.
“Di era seperti ini Tamansiswa jangan hanyut dengan realitas yang ada, justru sebaliknya Tamansiswa harus bangkit. Di UST sendiri perlu pembuatan rencana strategis untuk beberapa tahun ke depan. Seperti ajaran Ki Hadjar, ngeli nanging ojo keli (hanyut tapi jangan sampai hanyut). Kita harus mengalir mengikuti zaman, tetapi prinsip-prinsip Tamansiswa harus tetap dipegang sebagai pedoman,” jelas Gunawan.
Kembali menilik ketamansiswaan di Kampus Kebangsaan UST. Priyo menegaskan kembali bahwa Tamansiswa adalah badan perjuangan kebudayaan. Di Kampus Kebangsaan perlu adanya kajian budaya serta dibentuk lembaga studi kebudayaan UST. “Konsep budaya ditanamkan sebagai prioritas,” tegasnya.
Perlunya sebuah pusat kajian juga dilontarkan oleh Syahnagra, salah satu alumni Tamansiswa dalam Konggres PKBTs akhir tahun lalu. “Sudah waktunya Tamansiswa membangun pusat kajian KHD sebagai sumber untuk membangun masyarakat kedepan. Seperti visi Tamansiswa yaitu terwujudnya badan perjuangan kebudayaan dan pembangunan masyarakat yang menggunakan pendidikan dalam arti luas sebagai sarana dalam upaya membangun masyarakat tertib, damai, salam dan bahagia, serta tangguh dan berjaya,” paparnya.
Lebih jauh, Priyo menjelaskan bahwa ajaran Tamansiswa mengandung paham multikulturalisme, memelihara dan mengembangkan budaya. Budaya ketamansiswaan menunjukkan pada perilaku lengkap dengan budi pekerti. “Ketamansiswaan bukan sekadar mata kuliah, namun juga ruang pembelajaran bagi mahasiswa untuk mengkaji ajaran Tamansiswa,” jelas Priyo.
Selain itu, pendidikan pun erat kaitanya dengan kebudayaan. Seperti yang disampaikan oleh H.A.R Tilaar dalam Seminar Nasional Peringatan Hardiknas oleh Tamansiswa, 1 Mei 2012 lalu. Menurutnya, pakar-pakar pendidikan seperti KHD, Moh. Syafei, Paulo Freire, Giroux, dan banyak pakar pendidikan dalam kelompok pedagogik kritis melihat proses pendidikan tidak terlepas dari konteks kebudayaan seseorang. Di UST harus ada perombakan terhadap cara penyampaian ajaran Tamansiswa.
Priyo juga berharap di UST secara kontinyu menyelenggarakan studium general atau kuliah umum yang dihadiri oleh tokoh-tokoh Tamansiswa untuk membahas pendidikan dan kebudayaan di Tamansiswa.

Sabtu, 29 September 2012

Sejarah Taman Siswa


Taman Siswa berdiri pada tanggal 3 juli 1922, Taman Siswa adalah badan perjuangan kebudayaan dan pembangunan masyarakat yang menggunakan pendidikan dalam arti luas untuk mencapai cita-citanya. Bagi Tamansiswa, pendidikan bukanlah tujuan tetapi media untuk mencapai tujuan perjuangan, yaitu mewujudkan manusia Indonesia yang merdeka lahir dan batinnya. Merdeka lahiriah artinya tidak dijajah secara fisik, ekonomi, politik, dsb; sedangkan merdeka secara batiniah adalah mampu mengendalikan keadaan.

Bebicara Taman Siswa tidak bisa lepas dari pendirinya yaitu Raden Mas Soewardi Soeryaningrat atau yang biasa di kenal dengan Ki Hajar Dewantara. Beliau mendirikan Tamansiswa bertujuan untuk pendidikan pemuda Indonesiadan juga sebagia alat perjuangan bagi rakyat indonesia. Tamansiswa adalah membangun anak didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, merdeka lahir batin, luhur akal budinya, cerdas dan berketerampilan, serta sehat jasmani dan rohaninya untuk menjadi anggota masyarakat yang mandiri dan bertanggung jawab atas kesejahteraan bangsa, tanah air, serta manusia pada umumnya. Meskipun dengan susunan kalimat yang berbeda namun tujuan pendidikan Taman siswa ini sejalan dengan tujuan pendidikan nasional.


A. BERDIRINYA TAMAN SISWA
Tamansiswa berdiri pada 3 juli 1922, pendirinya adalah Raden Mas Soewardi Soeryaningrat atau yang biasa di kenal dengan Ki Hajar Dewantara. Awal pendirian tama siswa di awali dengan ketidak pusa dengan pola pendidikan yang di lakukan oleh pemerintah kolonial, karena jarang sekali Negara colonial yang memberikan fasilitas pendidikan yang baik kepada Negara jajahannya. Karena seperti yang di katakana oleh ahli sosiolog Amerika “pengajaran akan merupakan dinamit bagi system kasta yang di pertahankan dengan keras di dalam daerah jajahan”.

ki hajar dewantara
Gambar : Ki Hajar Dewantara


Sebab itu maka di dirikanlah Taman Siswa, berdirinya Taman Siswa merupakan tantangan terhadap politik pengajaran kolonial dengan mendirikan pranata tandingan. Taman Siswa adalah badan perjuangan kebudayaan dan pembangunan masyarakat yang menggunakan pendidikan dalam arti luas untuk mencapai cita-citanya. Bagi Taman Siswa, pendidikan bukanlah tujuan tetapi media untuk mencapai tujuan perjuangan, yaitu mewujudkan manusia Indonesia yang merdeka lahir dan batinnya. Merdeka lahiriah artinya tidak dijajah secara fisik, ekonomi, politik, dsb, sedangkan merdeka secara batiniah adalah mampu mengendalikan keadaan.

Dengan proses berdirinya Taman Siswa Ki hajar Dewantara telah mengesampingkan pendapat revolusioner pada masa itu, tapai dengan seperti itu secara langsung usaha Ki Hajar merupakan lawan dari politik pengajaran kolonial.lain dari pada itu kebangkitan bangsa-bangsa yang di jajah dan perlawanan terhadap kekuasaan kilonial umumnya disebut dengan istilah nasionalisme atau paham kebangsaan menuju kemerdekaan. Taman Siswa mencita-citakan terciptanya pendidikan nasional, yaitu pendidikan yang beralas kebudayaan sendiri. Dalam pelaksanaanya pendidikan Taman Siswa akan mengikuti garis kebudayaan nasional dan berusaha mendidik angkatan muda di dalam jiwa kebangsaan.

Pendidikan Taman Siswa dilaksanakan berdasar Sistem Among, yaitu suatu sistem pendidikan yang berjiwa kekeluargaan dan bersendikan kodrat alam dan kemerdekaan. Dalam sistem ini setiap pendidik harus meluangkan waktu sebanyak 24 jam setiap harinya untuk memberikan pelayanan kepada anak didik sebagaimana orang tua yang memberikan pelayanan kepada anaknya.

Sistem Among tersebut berdasarkan cara berlakunya disebut Sistem Tutwuri Handayani. Dalam sistem ini orientasi pendidikan adalah pada anak didik, yang dalam terminologi baru disebut student centered. Di dalam sistem ini pelaksanaan pendidikan lebih didasarkan pada minat dan potensi apa yang perlu dikembangkan pada anak didik, bukan pada minat dan kemampuan apa yang dimiliki oleh pendidik. Apabila minat anak didik ternyata akan ke luar “rel” atau pengembangan potensi anak didik di jalan yang salah maka pendidik berhak untuk meluruskannya.

logo taman siswa
Gambar : Logo Taman Siswa


Untuk mencapai tujuan pendidikannya, Taman Siswa menyelanggarakan kerja sama yang selaras antar tiga pusat pendidikan yaitu lingkungan keluarga, lingkungan perguruan, dan lingkungan masyarakat. Pusat pendidikan yang satu dengan yang lain hendaknya saling berkoordinasi dan saling mengisi kekurangan yang ada. Penerapan sistem pendidikan seperti ini yang dinamakan Sistem Trisentra Pendidikan atau Sistem Tripusat Pendidikan.

Pendidikan Tamansiswa berciri khas Pancadarma, yaitu Kodrat Alam (memperhatikan sunatullah), Kebudayaan (menerapkan teori Trikon), Kemerdekaan (memperhatikan potensi dan minat maing-masing indi-vidu dan kelompok), Kebangsaan (berorientasi pada keutuhan bangsa dengan berbagai ragam suku), dan Kemanusiaan (menjunjung harkat dan martabat setiap orang).


B. REAKSI PEMERINTAH KOLONIAL TERHADAP TAMANSISWA
Taman Siswa bisa dianggap sebagai tempat pemupukan kader masyarakat Indonesia di masa mendatang dan yang sudah pasti akan berusaha pula untuk menumbangkan kekuasaan kolonial. Oleh karena itu pemerintah jajahan berusaha untuk menghalang-halangi perkembangan Taman Siswa khususnya, sekolah-sekolah partikelir umumnya. Sejak itu Taman Siswa akan menghadapi perjuangan asasi, melawan politik pemerintah Hindia Belanda. Pada tahun 1931 timbul pendapat di kalangan orang Belanda yang memperingatkan pemerintah, bahwa apabila tidak diadakan peninjauan kembali atas pengajaran Gubernur, Taman Siswa akan menguasai keadaan dalam tempo sepuluh tahun.

Pemerintah konservatif Gubernur Jendra de jonge menyambut kegelisahan orang Belanda dengan mengeluarkan “ordonansi pengawasan” yang dimuat dalam Staatsblad no. 494 tanggal 17 September 1932. Isi dan tujuan dari ordonansi itu ialah memberi kuasa kepada alat-alat pemerintah untuk mengurus ujud dan isi sekolah-sekolah partikelir yang tidak dibiayai oleh negeri. Sekolah partikelir harus meminta izin lebih dahulu sebelum dibuka dan guru-gurunya harus mempunyai izin mengajar. Rencana pengajaran harus pula sesuai dengan sekolah-sekolah negeri, demikian juga peraturan-peraturannya. Ordonansi itu menimbulkan perlawanan umum di kalangan masyarakat Indonesia dan dimulai oleh prakarsa Ki Hadjar Dewantara yang mengirimkan protes dengan telegram kepada Gurbernur Jenderal di Bogor pada tanggal 1 Oktober 1932.

Pada tanggal 3 Oktober 1932 Ki Hadjar Dewantara mengirimkan maklumat kepada segenap pimpinan pergerakan rakyat, yang menjelaskan lebih lanjut sikap yang diambil Taman Siswa. Aksi melawan ordonansi ini disokong sepenuhnya oleh 27 organisasi antara lain Istri sedar, PSII, Dewan Guru Perguruan Kebangsaan di Jakarta, Budi Utomo, Paguyuban Pasundan, Persatuan Mahasiswa, PPPI, Partindo, Muhammadiyan, dan lain-lainnya. Juga golongan peranakan Arab dan Tionghoa menyokong aksi ini. Pers nasional tidak kurang menghantam ordonansi itu melalui tajuk rencananya. Moh Hatta sebagai pemimpin Pendidikan Nasional Indonesia, menganjurkan supaya mengorganisasi aksi yang kuat. Pada bulan Desember 1932 Wiranatakusumah, anggota Volksraad mengajukan pertanyaan pada pemerintah dan disusul pada bulan Januari 1933 dengan sebuah usul inisiatif.

Usul inisiatif yang disokong oleh kawan-kawannya di dalam Volksraad, berisi: menarik kembali ordonansi yang lama serta mengangkat komisi untuk merencanakan perubahan yang tetap. Budi Utomo dan Paguyuban Pasundan mengancam akan menarik wakil-wakilnya dari dewan-dewan, apabila ordonansi ini tidak dicabut pada tanggal 31 Maret 1933. Juga di kalnag para ulama aksi melawan ordonansi sekolah liar ini mendapat sambutan, terbukti dengan adanya rapat-rapat Persyarikatan Ulama di Majalengka dan Ulama-ulama Besar di Minangkabau. Pemerintah terkejut akan tekad perlawanan akan masyarakat Indonesia dan setelah mengeluarkan beberapa penjelasan dan mengadakan pertemuan dengan Ki Hadjar Dewantara, akhirnya dengan keputusan Gubernur Jenderal tanggal 13 Februari 1933 ordonansi Sekolah liar diganti dengan ordonansi baru.

kongres taman siswa 1930
Gambar : Kongres Taman Siswa Tahun 1930 di Yogyakarta


Perlawan Taman Siswa terhadap ordonansni sekolah liar merupakan masa gumilang bagi sejarahnya, yang juga berarti mempertahankan hak menentukan diri sendiri bagi bangsa Indonesia. Sesudah itu Taman Siswa akan mengadakan lagi perlawanan terhadap peraturan pemerintah kolonial yang dapat dianggap merugikan rakyat. Pada tahun 1935 Taman Siswa mempunyai 175 cabang yang tersebar di sekolahnnya ada 200 buah, dari mulai sekolah rendah hingga sekolah menengah.


C. SIKAP TAMAN SISWA PADA REVOLUSI DAN INDONESIA MERDEKA
Pada saat setelah Indonesia merdeka Taman Siswa mengadakan Rapat Besar (Konprensi) yang ke-9 di Yogyakarta. Tapi dengan masa kemerdekaan ini tidak semua guru Tamansiswa menyadari akan dating juga masa baru untuk Perguruan nasional mereka. Dalam Rapat besar itu terdapat tiga pendapat di kalangan Tamansiswa dalam menghadapi kemerdekaan.

Pertama, pendapat bahwa tugas Taman Siswa telah selesai dengan tercapainya Indonesia merdeka. Karena menurut pendukung pendapat ini, peran taman siswa sebagai penggugah keinsafan nasional sidah habis, dan faktor melawan pemerintah jajahan tidak ada lagi.
Kedua, Taman Siswa masih perlu ada, sebelum pemerinta Republik dapat mengadakan sekolah-sekolah yang mencukupi keperluan rakyat. Lagi pula isi sekolah-sekolah negri pun belum dapat di ubah sekaligus sebagai warisan sistempengajaran yang lampau.
Ketiga, sekolah-sekolah partikelir yang memang mempunyai dasar sendiri tetap di perlukan, walaupun nantinya jumlah sekolah sudah cukup dan isinya juga sudahnasional.

Perbedaan pendapat di kalang Taman Siswa membawa dampak yang tidak bias di elakan, para pendukung pendapat pertama banyak yang meninggalkan Tamansiswa. Tamansiswa banyak di tinggalkan oleh pendukung akatif yang tahan uji. Namun hal ini tidak mengherankan karena sebenarnya orang-orang Taman Siswa hanya berpindah tempat mengisi kemerdekaan. Misal saja bapak Taman Siswa sendiri, Ki Hajar Dewantara, pada awal kemerdekaan menjadi mentri pendidikan , Pengajaran dan Kebudayaan yang pertama di dalam pemerintahan. Bagi Taman Siswa sendiri yang terpenting ialah pembentikan panitia yang berkewajiban meninjau kembalinya peraturan tamansiswa dengan segala isinya. Panitia ini di ketuai oleh S. Manggoensarkoro dan kesimpiulan panitia ini diterima oleh Rapat Besar Umum (Kongres) V di Yogyakarta pada bulan Desember 1947.

Pada masa itu belanda telah mulai aksi militernya yang pertama pada 21 Juli 1947, sehingga Rapat Besar Umum, membahas tentang kedudukan cabang-cabang di daerah pendudukan. Kembali di daerah pendudukan Belanda muncul sebutan “sekolah liar” tapi tidak hanya sekolah partikelir saja tapi sekolah Republik pun dinyatakan “sekolah liar” ketika sekolah di Jakarta di tutup, maka gedung Taman Siswa di jalan Garuda 25 di banjiri oleh murid-murid. Semangat yang luar biasa di tunjukan oleh sekolah Tamansiswa yang berada di daerah pendudukan mereka berusaha mempertahankan sekolah mereka meski Majelis Luhur di Yogyakartatidak menyetujui di teruskanya sekolah di daerah pendudukan. Tapi akhirnya majelis Luhur mengizinkan untuk membvuka terus cabang-cabang Taman Siswa di daerah pendudukan.


D. TAMAN SISWA SETELAH KEMERDEKAAN
Salah satu masalah yang di hadapi Taman Siswa setelah kemerdekaan ialah meninjau kembalai hubungan dengan pemerintah kita sendiri, terutama dlam hal penerimaan subsidi.di kalang perguruan tinggi banyak perbedaan dalam menghadapi masalah ini, yaitu mereka yang dapat menerima subsidi itu dan di gunakan untu pengelolaan sekolah tapi tetap melihat berapa besar pengaruhnya agar tidak menggangu terhadap prinsip “ merdeka mengurus diri sendiri” dan mereka yang beranggapan agar melepas sikap oposisi seperti pada masa colonial karena tidak cocok dengan di Indonesia merdeka. Walaupun sempat di tahun 1946 adanya keterbukaan untuk mengenai menghadapi masa kemerdekaanuntuk merumuskan kembali sas dan dasar namun dalam pelaksanaanya mengenai subdidi ini masih banyak yang ingin memelijara keadaan seperti yang lalu.

Di kalangan para pemimpin sedikitnya tedapat dua pendapat atau aliran. Yang pertama aliran yang memnginginkan Taman Siswa terlepas dari system pendidikan pemerintah, merupakan lembaga pendidikan yang independen, hidup dalam cita-citanya sendiri dan terus berusaha agar sebagian masyarakat menerima konsep pendidikan nasional. Caranya ialah dengantetap mempertahankan system pondok yang relative terasing dari masyarakat sekitarnya. Aliran pemikiran yang kedua ialah mereka ber pendapat bahwa perkembangan masyarakat Indonesia baru sangat berbeda dengan keadaan zaman kolonial, oleh karena perubahan perlu di hadapi dengan pemikiran baru. Taman Siswa dapat menyumbangkan pengalaman dan keahlian untuk Menteri Pendidikan dalam usahanya mengembangkan kebijaksanaan politik pendidikan nasional.

Visi & Misi

A. Visi
Visi persatuan Taman Siswa dan cabang-cabangnya adalah sebagian badan Perjuangan Kebudayaan dan Pembangunan masyarakat serta penyelenggaraan pendidikan dalam arti luas dalam bentuk perguruan.

B. Misi :
1. Melestarikan dan mengembangkan kebudayaan nasional Indonesia .
2. Mewujudkan masyarakat tertib damai salam dan bahagia sesuai masyarakat merdeka, berdaulat, bersatu, adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
3. Mencerdaskan kehidupan bangsa dengan mempertajam daya cipta, rasa dan karsa manusia.

C. Usahanya :
1. Dalam rangka melestarikan dan mengembangkan kebudayaan nasional Indonesia , cabang-cabang dapat bekerja sama dengan Dinas Kebudayaan Propinsi dan Kabupaten / Kota membuka sanggar-sanggar budaya atau seminar-seminar tentang kebudayaan.
2. Dalam rangka mewujudkan masyarakat tertib damai, salam dan bahagia cabang-cabang dapat bekerja sama dengan Dinas Sosial Propinsi / Kabupaten / Kota dan lembaga social tingkat Propinsi / Kabupaten / Kota dalam rangka memerangi kemiskinan, keterbelakangan, dan penyakit-penyakit masyarakat.
3. Dalam rangka menyelenggarakan pendidikan dalam arti luas (pendidikan jalur formal, informal, dan non formal) dalam bentuk perguruan, Cabang-cabang dapat bekerja sama dengan Dinas Pendidikan Propinsi Kabupaten / Kota dalam rangka mengentaskan kebodohan, memeratakan kualitas pendidikan.

Cabang-cabang dapat menyelenggarakan :
1. Pendidikan jalur formal dari T. Indria sampai dengan Perguruan Tinggi baik umum maupun kejuruan.
2. Pendidikan jalur informal berupa nasehat, petuah, dan keteladanan hidup tertib damai salam dan bahagia terhadap siswa, orang tua siswa, dan masyarakat umum.
3. Pendidikan jalur nonformal berupa : sarasehan, seminar, ceramah-ceramah tentang pendidikan Anak Usia Dini (PAUD / Kelompok Belajar), menyelenggarakan Paket A,B,C Pemberantasan aksara kursus, kursus, dsb.